Berbeda dari orang-orang pada umumnya yang galau pilih jurusan saat kelas 3 SMA akhir, gw sudah memutuskan ambil Teknik Informatika (IT) sejak kelas 1 SMA.
Saat itu, belum ada gadget ataupun smartphone. Komputer, dengan monitor segede gaban, masih dianggap barang mewah. Apalagi di kota kecil seperti Cirebon, IT belum booming seperti sekarang ini. Terbukti dengan pertanyaan papa gw, saat gw bilang gw mau masuk IT.
Jurusan apa itu? Kok Papa ga pernah denger? Cari yang lain aja kaya 'Bisnis' atau 'Akuntansi'. Kaya Koko (yang mengambil jurusan akuntansi) gitu.
Beberapa menit selanjutnya, gw bersusah payah menjelaskan IT itu apaan. Iya, bersusah payah. Agak bingung juga gimana jelasin apa itu IT, ke orang yang tinggal di kota sebagian besar prosesnya masih manual dan pake komputer aja belum pernah. Berhubung penjelasan gw terdengar keren meyakinkan, mereka pun akhirnya ok.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mau kuliah di mana? Lagi-lagi, dengan mantap gw jawab: Institut Teknologi Bandung (ITB), yang lagi-lagi, menuai protes.
Kenapa ga di Jakarta aja sama Koko? Di Bandung nanti ga ada yang ngawasin. Di Jakarta kan, ada Binus. Denger-denger jurusan komputernya bagus juga.
Ah, rupanya mereka sudah melakukan riset tentang kampus IT. Tapi Jakarta? Biar ada yang ngawasin? Justru alasan itulah yang membuat gw enggan kuliah di Jakarta, mengingat saat itu, hubungan gw dengan koko gw kurang baik.
Gw pun tetap pada pendirian gw: IT di ITB, Bandung. Satu keluarga memang sudah tahu kalo gw keras kepala. Kalo sudah maunya A, harus A. Kecuali ada alasan yang cukup kuat atau cukup ilmiah untuk mengubah pandangan gw. Dan berhubung alasan mereka gw nilai kurang kuat, gw ga ambil pusing.
---
Biar dapet biaya lebih murah, gw ga mau masuk lewat jalur PMDK (berdasar nilai rapor). Walau gw yakin seyakin-yakinnya kalo nilai rapor gw sangat memenuhi syarat dan pasti diterima. Namun, gw sengaja memilih jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), yang biayanya bakalan jauh lebih murah, plus ga perlu pake 'uang gedung'.
Singkat cerita, gw mendaftar SNMPTN dan harus mengikuti 2 ujian. Ujian pertama mencakup Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Ujian kedua, Mafia (Matematika - Fisika - Kimia).
SNMPTN biasanya diselenggarakan di pertengahan tahun, setelah ujian nasional. Saat di mana teman-teman gw yang lain udah tenang keterima di salah satu universitas. Bahkan ada yang sudah mulai kuliah. Sementara gw, sama sekali belum daftar ke mana-mana. Malah, lagi sibuk belajar buat ujian seleksi yang saingannya berjumlah ratusan (atau mungkin ribuan).
Gw sama sekali ga punya back-up plan, tepatnya ga bisa punya. Beberapa bulan sebelumnya, kampus-kampus biasanya sudah pada minta down payment (DP). Jumlahnya tidak kecil. Kalo ga bayar DP, otomatis dinyatakan mengundurkan diri. Sedangkan kalo bayar DP dan keterima SNMPTN, DP tidak bisa dikembalikan. Ah, universitas-universitas itu benar-benar otak bisnis!
Takutkah gw? Tentu saja gw takut. Deg-deg an. Ini penting banget, masa depan gw. Tapi gw ga punya back up plan. Setiap malam gw berdoa, memasrahkan semua yang di luar kemampuan gw. Kata-kata yang sama, yang selalu gw panjatkan di kala bimbang. Doa yang tidak memaksa.
Guru (gw memanggil Tuhan gw dengan sebutan Guru), kalo memang ini yang terbaik, mohon dimudahkan. Kalo bukan, mohon dibimbing ke mana aku harus melangkah. Apapun itu, aku percaya Guru selalu memberikan yang terbaik.
Hari pertama, segalanya lancar. Setiap soal gw jawab dengan penuh percaya diri. Ini gampang banget, 90 % pasti bener, pikir gw saat itu. Sore dan malamnya, gw menjalani aktivitas seperti biasa. Makan, main PS, baca novel, nulis ga jelas, gangguin anjing gw, nonton TV sebelum tidur, dan akhirnya terlelap sekitar pukul 11 malam.
---
Pukul 3 pagi dini hari, kejadian yang luar biasa terjadi. Perut mules membangunkan gw yang lagi tertidur lelap. Gw buru-buru ke toilet. Keringet dingin mengalir. 'Ah, mules doank. Abis dibuang juga biasanya sembuh', gw mencoba menghibur diri.
Ternyata gw salah besar.
Gw ga bisa tidur lagi sampai tiga jam kemudian, pukul 6 pagi. Gw udah bolak-balik ke toilet tidak terhitung berapa kali. Sempat muntah juga saking mualnya.
Tapi tenang, Saudara-saudara. Bukan Stef namanya, kalo ga bandel. Hihihi. Dalam kondisi seperti itu, gw tetap sarapan ala kadarnya, dan nekat berangkat mengikuti tes hari kedua. Saat itu gw percaya, badan boleh sakit, tapi otak gw tetap jalan. Walaupun sakit, gw pasti tetep bisa ngerjain ujian dengan baik. Ehem!
Sepuluh menit berlalu, para peserta baru selesai mengisi data diri dan nomer peserta ujian yang harus dibulet-bulet pake pensil 2B. Oh no, ini belum apa-apa, tapi gw udah ngerasa mules lagi. Lima belas menit berikutnya, gw bolak balik ke toilet 4-5x. Sesuai aturan, kalo mau meninggalkan ruang ujian, ke toilet misalnya, gw harus diantar, diikuti, dan ditungguin oleh pengawas ujian. Berasa kaya orang penting juga sih, ke mana-mana ada bodyguard-nya.
Gara-gara buang air melulu, dan mungkin saking lemesnya, gw jadi ga bisa konsentrasi ngerjain soal ujian. BLANK total. Pas gw baca kalimat kedua, gw udah ga inget kalimat yang pertama. Gw mengeluarkan seluruh tenaga untuk mencoba berkonsentrasi, tapi tetap ga bisa. Kira-kira di menit ke 30, gw menyerah, memutuskan untuk pulang.
Setelah berunding, para pengawas ujian mengijinkan gw pulang jauh lebih awal. Pengawas yang ngikutin gw bolak-balik ke toilet bilang kalo muka gw pucet banget. Gw ga tau sepucet apa gw waktu itu. Cuma gw inget sebelum pulang, gw dibikinin teh manis hangat. Biar ga pingsan di jalan, katanya. Dia bahkan nganterin gw ke luar, manggilin becak, menanyakan alamat gw, dan berpesan pada tukang becak agar mengantarkan gw sampai ke depan rumah dengan hati-hati.
Sesampainya di rumah, mama gw bingung kenapa gw pulangnya cepet banget. Sakit diare dan muntah-muntah, jawab gw. Setelah bongkar-bongkar kotak obat, gw nemu obat diare, meminumnya, dan langsung tertidur pulas begitu nempel kasur.
Bangun-bangun ternyata udah jam makan siang. Aneh juga gw bisa tidur cukup lama tanpa interupsi ke toilet. Gw keluar dari kamar langsung disodori pertanyaan dari adik, apa tadi gw minum obat diare yang ada di meja makan. Gw ngangguk.
OBAT ITU UDAH EXPIRED SATU TAHUN LALU!!
Gw ketawa. Eerr... gw memang suka ketawa di saat-saat yang aneh. Mungkin bisa jadi ide post gw selanjutnya. Anyway, balik ke topik, mama gw panik nyuruh gw cepet-cepet minum Norit. Buat menetralkan racun, katanya. Walaupun gw ngerasa sehat walafiat, udah ga mual dan mules lagi, gw juga jadi takut dan langsung minum Norit.
Abis makan siang, gw udah ga lemes lagi. Tenaga gw balik normal, sehat-sehat seperti tidak ada kejadian apa-apa jam 3 pagi tadi.
---
DIA bilang tidak.
Sangat
to the point. Hari itu juga. Ga pake digantungin, ga pake di-PHP-in (Pemberi Harapan Palsu). Legaaaaa gitu rasanya.
Dengan begitu, hari itu juga, gw bisa langsung
move on. Karena gw tahu, gw ga mungkin lolos tanpa mengerjakan ujian yang kedua. Ini jauh lebih baik dibanding nunggu-nunggu hasil seleksi, yang entah kapan keluarnya, dan ternyata gw ga lolos.
DIA bilang tidak tanpa menghancurkan kepercayaan diri gw. Gw kalah karena gw sakit, bukan karena gw ga cukup kompeten.
Gw ga memaki, ga melawan, ga meragu, dan ga protes kenapa gw harus sakit di saat sepenting itu. Ah, setidaknya saat itu, gw menganggap hal itu penting. Mungkin DIA tidak sependapat.
DIA bilang tidak, dan DIA sudah menyiapkan rencana lain. Beberapa bulan kemudian gw udah kuliah di salah satu kampus IT terbaik di Malaysia, tanpa ada kendala yang berarti.
Gw tersenyum. Terima kasih, Guru.
---
Note: Gw memang berniat masuk ITB, namun rencana tidak berjalan sesuai yang gw inginkan. Berdasarkan hal ini, gw ga menyimpulkan kalo ITB tidak bagus, atau Binus tidak bagus, atau universitas-universitas lain di Indonesia tidak bagus. Yang gw mau tekankan di sini bukan jurusannya, bukan universitasnya, tapi DIA-nya. DIA selalu tahu yang terbaik buat kita. Dan saat DIA bilang tidak, dia sudah menyiapkan sesuatu yang lain untuk kita. Jurusan apapun, universitas apapun, bisa jadi bagus ataupun jelek, tergantung diri sendiri.
When HE gives a 'NO', it is not a rejection; it is a redirection.