Tiba-tiba, gw teringat pernah berdiskusi dengan seorang temen yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Topiknya cukup menarik, makanya gw berniat share di sini.
Sebelum masuk ke topik diskusi, gw mau menceritakan sekilas tentang teman gw: dia cowok, tinggi, pake kacamata, jalannya cepet banget (jalannya mungkin lebih cepet dari larinya Usain Bolt), jomblo, dan sering galau. Untungnya dia childish jenius, bersama timnya pernah meraih medali emas di kompetisi Genetically Engineered Machine (iGEM) 2014 yang diselenggarakan di Boston, Amerika. Dia juga satu-satunya temen gw yang ke Kuala Lumpur mengunjungi Biomedical Museum. Sedangkan gw yang 8 tahun di Kuala Lumpur aja, ga tau ada Biomedical Museum eksis di sini. Jadi bisa dibilang, dia cukup expert dalam topik diskusi ini.
Ok, kembali lagi ke topik. Topik yang cukup intense ini dimulai dari pertanyaan gw:
Vaksin itu kan virus yang dilemahkan. Memangnya gimana caranya memperlemah virus? Dipanasin? Didinginin? Ga dikasih makan? Disetrap di pojokan sambil angkat satu kaki? Diputusin pacar? Atau digebukin sampe pingsan?
Ternyata jawabannya tidak terduga. Vaksin itu tidak selalu virus yang dilemahkan. Vaksin bisa berupa virus yang tidak aktif, atau bahkan hanya terdiri dari sebagian kecil komponen dari virus, seperti 'cangkang'nya, proteinnya, atau cuma DNA nya saja. Yang terpenting, vaksin tersebut bisa merangsang pembentukan imunitas tubuh, tanpa membahayakan tubuh.
Namun seringnya, biar gampang dan cepat, guru-guru dan para dosen selalu bilang: "Vaksin itu virus yang dilemahkan." Titik. End of story.
Namun seringnya, biar gampang dan cepat, guru-guru dan para dosen selalu bilang: "Vaksin itu virus yang dilemahkan." Titik. End of story.
Gara-gara topik vaksin dan virus, kita malah ngomongin pertanyaan yang masih menjadi misteri: 'Apakah virus merupakan makhluk hidup?' Pertanyaan yang sampe sekarang masih diperdebatkan dan jawabannya juga masih menjadi kontroversi.
Di satu sisi virus tidak dianggap sebagai makhluk hidup karena virus hanya tersusun dari DNA atau RNA yang dikelilingi oleh lapisan protein. Virus tidak terbuat dari sel, di mana sel adalah unit dasar dari organisme hidup. Virus juga tidak dapat bereproduksi tanpa sel inang, dan virus dapat dikristalkan. Hal-hal tersebut bertentangan dengan ciri-ciri makhluk hidup.
Namun dari pandangan lain, virus digolongkan sebagai makhluk hidup karena DNA dan RNA dianggap sebagai materi genetik. Virus juga memenuhi ciri-ciri makhluk hidup lainnya seperti mampu beradaptasi, tumbuh, bereproduksi, bahkan berevolusi walaupun hanya dalam sel inang.
Di satu sisi virus tidak dianggap sebagai makhluk hidup karena virus hanya tersusun dari DNA atau RNA yang dikelilingi oleh lapisan protein. Virus tidak terbuat dari sel, di mana sel adalah unit dasar dari organisme hidup. Virus juga tidak dapat bereproduksi tanpa sel inang, dan virus dapat dikristalkan. Hal-hal tersebut bertentangan dengan ciri-ciri makhluk hidup.
Namun dari pandangan lain, virus digolongkan sebagai makhluk hidup karena DNA dan RNA dianggap sebagai materi genetik. Virus juga memenuhi ciri-ciri makhluk hidup lainnya seperti mampu beradaptasi, tumbuh, bereproduksi, bahkan berevolusi walaupun hanya dalam sel inang.
Dari virus dan makhluk hidup, kita beralih ke topik Artificial Intelligence (AI), di mana proses pembelajaran otak manusia yang sampai sekarang sudah berjalan puluhan tahun, namun belum juga ditemukan titik terangnya. Kita sepakat kalo ketika manusia sudah sepenuhnya berhasil mempelajari otak manusia dan menciptakan otak buatan, it's the end of the road (atau mungkin justru the new beginning of every science?)
Dia cerita kalo sekarang para biologis sedang berada dalam track to print a human, dengan XNA alias DNA sintetis. Mereka bahkan melakukan penelitian membuat makhluk hidup dari minyak, air, dan komponen sel. And... it worked!! Berita yang mencengangkan karena sekarang manusia sudah bisa play God.
Dari situ, muncullah pertanyaan misteri lainnya. Kalo manusia sudah seperti Tuhan yang bisa menciptakan makhluk hidup lain, apa makhluk hidup tersebut memiliki soul? Jika tidak, apakah dia disebut makhluk hidup jika tidak memiliki soul? Bahkan pertanyaan paling dasar pun masih misteri: Apa itu soul?
Ngomongin soul pasti ga jauh-jauh dari konsep dualism dalam filosofi, di mana body dan soul (mind) adalah 2 hal berbeda dan memiliki fungsi berbeda juga. Jaman dulu, ada yang berpendapat soul-lah yang menggerakan body. Pendapat ini didasari dengan fenomena berikut:
Orang yang sudah meninggal tubuhnya dingin dan tidak lagi bisa bergerak. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya soul yang menghangatkan dan membuatnya bisa bergerak.
Pendapat tersebut disanggah Rene Descartes, seorang filsuf dan ahli matematika, yang dalam tulisannya 'The Passions of the Soul" mengatakan:
The heat and movement of our body-parts come from the body; thoughts come from the soul. The soul leaves our body when we die only because this heat ceases and the organs that move the body decay.
Apapun itu, sampai sekarang apa itu soul dan keberadaannya masih tidak bisa dibuktikan sepenuhnya oleh science.
Topik pun gw tutup dengan pertanyaan yang sekaligus menjadi sindiran bagi ilmuwan-ilmuwan yang berkutat di dunia kesehatan. Dengan bantuan teknologi yang semakin canggih, riset dan perkembangan dalam bidang kesehatan pun semakin pesat.
Teknologi dan Kesehatan (Scienceroll, 2014) |
- Teknnologi imaging dan monitoring sekarang mempunyai ultrasound scan, computerized tomography (CT) scan, Magnetic resonance imaging (MRI), digestible sensors, dan lainnya.
- Teknik pembedahan mulai beralih dari bedah konvensional ke bedah laparoskopi dan bedah laser.
- 3D printed biological material and artificial limb sangat berperan penting dalam proses penelitian dan rekayasa genetika. Bahkan sudah berhasil diimplementasikan pada tikus untuk 'menambal' jantung yang rusak.
- Orang yang lahir cacat atau orang yang kehilangan tangan / kakinya, bisa kembali berjalan dan beraktivitas dengan bantuan exosceleton.
Tapi JARUM SUNTIK dan INFUS yang sangat-sangat umum digunakan, kenapa ga banyak berubah sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1844? Apa ga ada cara lain yang physically dan psychologically less painful atau mungkin no pain at all?
Memang sih, gw pernah denger adanya painless vaccination yang modelnya kaya plester dan cuma ditempelin ke kulit doank. Namun, cara ini masih jauh dari efektif dibanding metode vaksinasi konvensional.
Menarik ya, aku juga kemarin ada lihat telemedika yang digunakan di Makassar, akan sangat baik jika bisa mencakup seluruh indonesia :)
ReplyDeleteSemoga saja bisa cepat terealisasikan, khususnya di daerah-daerah terpencil :)
Delete