Thursday, January 29, 2015

Jalan-Jalan Terus: Wisata Gunung Bromo

Setelah bosan dengan liburan bertema pantai (Bali, Redang, Belitung, dan beberapa yang tidak dimuat dalam blog), akhirnya Natal 2014 lalu, gw berlibur ke Gunung Bromo.

Berikut barang-barang tambahan yang sebaiknya dibawa saat liburan ke Bromo:
  • Jaket yang cukup tebal
  • Topi yang bisa menutupi telinga
  • Sarung tangan
  • Kaos kaki
  • Sepatu

Singkatnya, baju-baju musim dingin. Mungkin sebagian dari kalian bakal mikir: "Stef ini, kok, lebay banget! Cuma ke Bromo aja harus bawa baju musim dingin kaya mau ke kutub!" Pertama kali juga gw mikirnya gitu. Tapi bagi kalian yang berencana mau ke gunung pendakian dan (mencoba peruntungan) melihat matahari terbit, ga ada salahnya berjaga-jaga. Suhu di atas sekitar 3-20 derajat Celcius, tergantung cuaca. Memang sih, pakainya juga ga lama, paling-paling 3-4 jam. Begitu matahari terbit, udah ga begitu dingin kok.

Ada berita bagus buat yang ga mau ribet bawa baju setebal gaban itu: Di sana banyak orang yang berjualan jaket, topi, sarung tangan, dan kaos kaki. Bahkan ada tempat menyewakan jaket tipe windbreaker. Harganya juga ga mahal-mahal banget dan masih masuk akal, asal pinter-pinter nawar aja.

Ke Bromo tanpa mampir-mampir ke Gunung Pendakian, Kawah Bromo, Bukit Teletubbies, dan Pasir Berbisik, rasanya bagai makan nasi tanpa nasi. Lho? Iya, maksudnya sama aja kaya ga makan gitu. Hehehehe... Sayangnya, mobil pribadi umumnya tidak diijinkan masuk dikarenakan medan lokasi yang membutuhkan mobil-mobil 4WD.

Sewa jeep, atau yang lebih dikenal dengan istilah hardtop, bisa dibilang cukup mahal. Hari-hari biasa sekitar Rp 300.000,00 ke 2 lokasi (Gunung Pendakian dan Kawah Bromo) dan Rp 500.000,00 ke 4 lokasi. Berhubung ini hari libur, tarif pun meningkat drastis, sekitar Rp 700.000,00 ke 2 lokasi dan Rp 900.000,00 ke 4 lokasi. Ga ada harga yang pasti. Karena semua berdasarkan negosiasi aja. Gw sarankan sih nyewanya agak maleman, karena biasa harganya lebih murah, daripada mereka ga dapet penumpang.

Namun hati-hati sama sewa-menyewa hardtop. Entah gw yang lagi sial atau memang banyak calo yang 'nakal', gw punya pengalaman yang kurang mengenakkan!

Cerita singkatnya, kita udah deal ke 4 lokasi seharga Rp 900 ribu. Kita pun membayar DP Rp 200 ribu / hardtop. Si calo pun memberikan KTP temannya (bukan KTP dia karena dia bilang lupa bawa KTP) untuk kita pegang sebagai jaminan.

Setelah sopir menjemput kita pagi-pagi, kita langusng diminta untuk membayar lunas (900 ribu - 200 ribu = 700 ribu), dan meminta KTP teman si calo ini dikembalikan.

Eehh... baru sampe di lokasi ke-2, sopir enggan mengatarkan kita ke 2 lokasi berikutnya dengan alasan:
Kata si calo, kemarin deal-nya cuma 2 lokasi. Kalo untuk ke 4 lokasi itu Rp 900 ribu, bukan Rp 700 ribu. Jadi masih kurang Rp 200 ribu.
Lah, kan memang 900 ribu, 200 ribu nya kita udah bayar buat DP!

Namun si sopir tetep ngotot kalo mereka ga nerima uang 200 ribu itu. Parahnya lagi, pas kita mau meluruskan masalah untuk konfirmasi sama si calo, si calo malah langsung mematikan HP-nya.

Ah, pantas saja kemarin si calo dimintai KTP pun susah sekali, malah KTP temennya yang dikasih, dengan alasan dia lupa bawa KTP. Dan awal-awal si sopir menjemput, mereka langsung minta dibayar lunas dan minta KTP dikembalikan.


Terlepas dari masalah itu, kita tetep bisa enjoy menikmati pemandangan di Gunung Bromo. Berikut kisahnya:

Gunung Penanjakan

Pagi-pagi jam 1.30, gw udah dibangunin sama sopir buat siap-siap menuju ke Gunung Penanjakan. Mereka bilang, lagi musim liburan, takutnya jalanan macet, jadi lebih baik kalo berangkat lebih pagi. Kalo hari-hari biasa sih, jam 3 pagi baru jalan.

Singkat cerita, gw bersiap-siap dengan segala pakaian dingin gw, walau dalam hati masih ga percaya: 'Ah, masa sedingin itu?'

Perjalanan ke Gunung Penanjakan memakan waktu kira-kira 45 menit dan cukup membuat jantung berdebar-debar. Bayangkan saja, hari masih gelap, jalan sangat terjal dan berkelok-kelok. Jalanan yang dilalui pun, sangat sempit dan tidak ada lampu sama sekali, hanya mengandalkan lampu mobil. Lengah sedikit, bisa-bisa masuk jurang. Tapi jangan khawatir, jalanan ini sudah makanan sehari-hari para sopir hardtop.

Sampai di Gunung Penajakan sekitar pukul 3 pagi. Langit juga masih gelap gulita. Banyak warung-warung berjualan makanan, minuman, jaket, dan souvenir.

"Ini kira-kira matahari nya bakal keliatan ga, Pak?" tanya gw ke Bapak penjaga warung.
"Wah, itu saya juga ga tau. Kemarin sih keliatan," jawabnya.
"Ga bisa diprediksi, Pak? Kira-kira dalam waktu 2 jam itu bakal keliatan atau ga kalo cuaca seperti ini?"
"Ga bisa, Dek. Jangankan 2 jam, sampai detik-detik terakhirpun, kita ga bisa memprediksi. Kabut bisa dateng kapan aja. Dan kadang kabut itu cepet sekali nutup (matahari) nya."

Gw tertegun. Makin menyadari kalo manusia ga akan pernah bisa mengalahkan alam.

Setelah minum teh manis dan nyemil biskuit, gw naik sampai ke tempat untuk melihat matahari terbit. Banyak kursi sudah disediakan di sana. Sebagian orang tidur, sebagian duduk sambil terkantuk-kantuk, sebagian, yang hiperaktif, sibuk selfie pake tongsis. Gw sendiri termasuk kategori yang terakhir. Demi mendapat gambar bagus, selfie pun harus diulang-ulang. Gimana enggak, dalam keadaan gelap gulita gini, mau ga mau, harus mengandalkan kamera belakang dan lampu flash. Jadi sebelum foto, kita mesti kira-kira dulu posisinya gimana dengan bantuan senter. Ah, ribet deh pokoknya. Ibarat orang kurang kerjaan, well, sebenernya memang kurang kerjaan. Kita masih menunggu kira-kira 2 jam lagi untuk melihat sun rise, itu pun kalo hoki.

Berikut hasil selfie gw dan penampakan orang-orang yang sama-sama menunggu. Lihat deh, ga lebay kan pake baju ala winter:
Hasil selfie susah payah
Penampilan orang-orang di Gunung Pendakian
Dua jam kemudian, setelah bengong-bengong, jalan-jalan, duduk-duduk dan selfie puluhan kali, akhirnya terlihat tanda-tanda matahari udah mau terbit. Gw langsung mencari posisi di mana gw bisa selfie sama matahari terbit. Gw senang, kayanya hoki deh, bakal keliatan nih matahari terbitnya.
Selfie bersama matahari yang hampir terbit

Kalo menurut jam, bisa dipastikan dalam waktu kurang dari 5 menit lagi, matahari bakal terbit. Tapi ternyataaaaaaa... kita belum beruntung, beberapa detik setelah foto di atas gw ambil, kabut datang dan menghancurkan semua impian yang sudah kita bangun susah payah sejak 2 jam yang lalu.

Serius, ini foto cuma diambil beberapa saat setelah foto di atas!

Kawah Bromo

Setelah kecewa dengan sang kabut, gw pun sarapan pagi di warung terdekat dan melanjutkan ke lokasi kedua, yaitu Kawah Bromo. Perjalanan dari Gunung Penanjakan ke Kawah Bromo tidak begitu jauh, hanya saja macet karena semua hardtop pun menuju ke tempat yang sama.

Kira-kira satu jam kemudian, gw terbangun saat hardtop berhenti di tempat parkiran Kawah Bromo. Untuk melihat kawahnya, kita harus menaiki anak tangga yang banyaaakkk. Turun dari hardtop, kita cuma melongo, ngeliatin kawah dari jarak yang (sangat) jauh. Ditambah lagi, gw jalan-jalan bersama orang tua gw, serta 2 keponakan gw yang baru berumur 3 tahun dan 1 tahun. Makin males untuk naik tangga. Rencana mau sewa kuda pun batal dikarenakan tarifnya yang terlalu mahal.

Gw dan Gunung Bromo

Bukit Teletubbies

Masih inget sama Teletubbies: Tinky-Winky, Dipsy, Laa Laa, Po, dan sang bayi matahari yang selalu terbit setiap pagi (tanpa tertutup kabut) itu? Tempat ini disebut Bukit Teletubbies soalnya mirip sama tempat tinggal para Teletubbies yang di TV-TV, bukit-bukit kecil nan hijau dan lucu.

Oh ya, Bukit Teletubbies letaknya tidak begitu jauh dari Kawah Bromo. Jalanannya pun lurus, ga pake macet karena jalanannya lebar seperti melintasi padang pasir. Kita pun main-main di sini sebentar sebelum melanjutkan ke lokasi terakhir.
Bukit Teletubbies dari kejauhan.

Pasir Berbisik

Walau letaknya bersebelahan dari Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik ini penampilannya sangat jauh berbeda. Di sini, kita tidak melihat apa-apa kecuali pasir (dan turis tentunya). Tempat ini disebut Pasir Berbisik karena saat musim kemarau, pasir kering yang tertiup angin ini berbunyi seperti mereka seolah-olah sedan saling berbisik!

Lagi-lagi, entah karena gw sial atau apa, gw cuma bisa membayangkan saja. Gw dateng pas Desember, musim hujan, di mana kondisi pasir lagi agak basah. Angin sepoi-sepoi pun malah berhasil membuat pasir ketiduran. Jadilah tempat ini gw namai Pasir Ketiduran: tempat yang sejuk, angin sepoi-sepoi, suasana cukup sunyi, waktu paling pas buat pasir yang seharusnya berbisik, jadi ketiduran.

Semoga kesibukan selfie kita tidak membangunkan Pasir Ketiduran
Sekian perjalanan gw di Bromo. Masih segar dalam ingatan gw detik-detik menunggu matahari terbit, momen yang sangat mendebarkan. Saat itu, setiap detik jadi begitu berarti. Perjalanan gw cukup singkat memang, tapi, pemandangan di sana jauh lebih indah dari apa yang bisa gw tuliskan di sini. Matahari terbit, kawah bromo, serunya berkuda, bukit nan hijau, dan lautan pasir. 

Semoga kalian yang akan berlibur ke sana, cukup beruntung untuk bisa menyaksikan dan merasakan sensasinya sendiri, khususnya detik-detik menjelang matahari terbit.

1 comment:

  1. Kalau liat orang traveling ke gunung rasanya asik banget deh.

    Cuma karena besar di gunung dan kota yang dikelilingi pantai, memang rada malas travel ke wisata alam begini. Kecuali kalau ke lombok atau everest :p

    ReplyDelete